Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia didorong oleh berbagai alasan fundamental, termasuk kebutuhan akan sistem hukum yang lebih adaptif, sistematis, serta mencerminkan nilai-nilai bangsa.
KUHP baru ini mengusung asas keseimbangan dalam berbagai aspek hukum, mencerminkan nilai Pancasila dalam penegakan hukum nasional.
Menurut Dr. H. Iwan Rasiwan, S.H., M.H., dosen Hukum Pidana Universitas Kartamulia, KUHP baru hadir sebagai bentuk kemandirian hukum Indonesia.
"KUHP sebelumnya merupakan warisan kolonial yang tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas hukum dan budaya masyarakat Indonesia. Pembaruan ini bertujuan untuk menghadirkan hukum pidana yang lebih berkeadilan dan berlandaskan nilai-nilai nasional,
Alasan Pembaruan KUHP
Pembaruan KUHP tidak sekadar menggantikan warisan hukum kolonial, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih relevan dengan kondisi sosial dan politik Indonesia.
Ada beberapa alasan utama di balik pembaruan ini, yaitu:
1. Praktis – KUHP lama masih menggunakan bahasa Belanda, sehingga sulit dipahami oleh sebagian besar masyarakat dan aparat penegak hukum.
2. Adaptif – Perkembangan hukum pidana harus selaras dengan kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat
3. Sistematis – Hukum pidana perlu terintegrasi dengan sistem hukum nasional lainnya.
4. Politik – Sebagai negara merdeka, Indonesia harus memiliki hukum pidana nasional yang mencerminkan kedaulatan hukum sendiri.
5. Sosiologis – Hukum pidana harus mencerminkan nilai budaya bangsa, bukan hanya mengadopsi sistem hukum asing.
6. Filosofis – Norma dasar Indonesia berbeda dengan norma negara asal KUHP lama, yakni Belanda.
Sebagai konsekuensinya, KUHP baru menyeimbangkan berbagai aspek hukum, antara lain:
- Hukum tertulis dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
- Kepentingan negara dengan hak individu.
- Perlindungan bagi korban dan pelaku tindak pidana.
- Unsur perbuatan dan sikap batin dalam pemidanaan.
- Kepastian hukum dengan keadilan.
- Nilai-nilai nasional dengan nilai universal.
- Hak asasi manusia dengan kewajiban asasi manusia.
Keseimbangan Hukum Tertulis dan Hukum yang Hidup dalam Masyaraka
alah satu terobosan penting dalam KUHP baru adalah perluasan asas legalitas.
Jika sebelumnya hanya mengacu pada hukum tertulis, kini hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat juga diakui sebagai dasar pemidanaan.
Pasal 2 ayat (1) KUHP baru menyatakan bahwa hukum pidana tidak hanya bersumber dari peraturan tertulis, tetapi juga memperhitungkan "hukum yang hidup" di masyarakat.
Ini berarti, selain mengacu pada undang-undang, hakim dapat mempertimbangkan norma hukum adat dalam memutus perkara.
"Standar, nilai, dan norma yang berkembang di masyarakat tetap dilindungi guna memenuhi rasa keadilan.menegaskan bahwa pengakuan hukum adat tetap harus sejalan dengan prinsip legalitas dan tidak bertentangan dengan KUHP baru.
Asas Legalitas dalam Perspektif Agama
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, prinsip legalitas dalam KUHP baru juga memiliki relevansi dalam ajaran Islam.mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dihukum tanpa adanya aturan yang jelas:
QS. Al-Isra ayat 15: "Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menyiksa (seseorang) hingga Kami mengutus seorang rasul."
QS. Al-Qasas ayat 59: "Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri sebelum Dia mengutus seorang rasul di ibu kotanya yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka."
Prinsip ini sejalan dengan Pasal 1 Ayat (1) KUHP baru yang menegaskan:
- Tidak ada pidana tanpa peraturan perundang-undangan (asas legalitas).
- Larangan penerapan analogi dalam hukum pidana.
- Larangan berlakunya hukum secara retroaktif (berlaku surut).
Perluasan asas legalitas dalam KUHP baru bukanlah konsep baru. Sebelumnya, pengakuan terhadap hukum tidak tertulis sudah diatur dalam Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt 1951, yang menyatakan bahwa:
"Suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana, tetapi tidak ada dalam KUHP, tetap dapat dipidana dengan ancaman hukuman tertentu."
Selain itu, berbagai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga mengakomodasi hukum tidak tertulis, seperti:
- UU No. 14 Tahun 1970, yang diperbarui dengan UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004, dan UU No. 48 Tahun 2009.
- Ketentuan dalam undang-undang ini mewajibkan hakim untuk tidak menolak perkara hanya karena hukum kurang jelas.
- Putusan pengadilan harus mencantumkan dasar hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
- Hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum yang hidup di masyarakat.
KUHP baru menegaskan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat tetap dapat diberlakukan selama memenuhi dua syarat utama:
- Tidak bertentangan dengan KUHP baru.
- Sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan prinsip hukum yang diakui secara internasional.
Penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat ini dapat diakomodasi melalui Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, sehingga tetap menghormati keberagaman suku dan adat istiadat di Indonesia.
KUHP baru mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam penegakan hukum dengan menyeimbangkan berbagai aspek, seperti:
- Hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
- Hak individu dan kepentingan negara.
- Kepastian hukum dan keadilan.
- Nilai nasional dan nilai universal.
Dengan mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat, KUHP baru memastikan bahwa keadilan tetap terjaga tanpa mengabaikan asas legalitas dan prinsip hukum modern
Reformasi ini menjadi langkah penting dalam mewujudkan sistem hukum pidana yang lebih inklusif, responsif, dan mencerminkan identitas hukum nasional Indonesia.***